Ads 720 x 90

Fiksioner Free Blogger Theme Download

Laporan Observasi Kegiatan Pembelajaran Anak Tunanetra di SLB A YKAB Surakarta

A.    Proses Observasi Pembelajaran

Pada hari Sabtu tanggal 30 Mei 2015, mahasiswa Pendidikan Luar Bisa (PLB) FKIP UNS angkatan 2014 melakukan observasi pembelajaran di SLB A YKAB Surakarta. Kegiatan ini dimulai pukul 07.30 sampai selesai. Observasi tersebut bertujuan agar mahasiswa dapat mengamati dan mengetahui secara langsung proses pembelajaran bagi anak tunanetra di sekolah. Selama observasi, kami mengamati secara langsung kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Pak Alfian kepada tiga siswanya yang duduk di kelas 3 SD, yaitu Christian, Lionel dan Ira.
Kegiatan pembelajaran diawali dengan ucapan salam yang disampaikan oleh Pak Alfian kepada siswanya kemudian dilanjutkan dengan berdoa terlebih dahulu yang dipimpin oleh salah satu siswa, kemudian barulah memulai pelajaran. Metode pembelajaran yang diterapkan oleh Pak Alfian adalah metode ceramah dan tanya jawab. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, Pak Alfian menggunakan alat bernama Digital Talking Book (DTB) yaitu sejenis alat khusus yang digunakan untuk memperdengarkan materi pelajaran kepada anak tunanetra. Materi pelajaran tersebut telah disimpan dalam sebuah CD, kemudian CD tersebut dimainkan pada DTB tadi. Karena mata pelajaran yang diajarkan pada hari itu adalah Bahasa Indonesia, maka suara yang terdengar dari DTB tersebut adalah berupa soal cerita. Setelah mendengarkan soal cerita, kemudian Pak Alfian memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan soal cerita tersebut secara lisan. Siswa yang ditunjuk untuk menjawab pertanyaan terlebih dahulu disebutkan namanya, apabila dia tidak merespon, barulah guru memberikan stimulasi berupa sentuhan, seperti yang dilakukan oleh Pak Alfian kepada Christian pada waktu itu. Jika anak dapat menjawab pertanyaan yang diberikan, berarti anak telah paham dengan soal cerita yang diperdengarkan tadi. Di sela-sela pertanyaan yang diberikan, Pak Alfian juga menyelipkan beberapa pertanyaan sederhana yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari anak. Dengan begitu, anak dapat terpancing untuk bercerita dengan sendirinya yang terkait dengan kegiatan sehari-hari yang dialami oleh anak. Kemudian Pak Alfian meminta mereka untuk menuliskan apa saja kegiatan sehari-hari mereka dengan menggunakan alat tulis Braille. Lalu hasil pekerjaan anak dikoreksi oleh guru.
Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, Pak Alfian juga menyelipkan penggunaan bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa yang merupakan bahasa sehari-hari anak. Selain itu, apabila posisi kepala anak semakin tertunduk ke arah meja selama pelajaran berlangsung maka guru dengan sigap harus segera menegakkan posisi kepala anak tadi. Kegiatan belajar mengajar tersebut kemudian diakhiri oleh Pak Alfian dengan mengucapkan terima kasih dan salam kepada Christian, Lionel dan Ira.

B.     Kelebihan

1.   Kegiatan pembelajaran tersebut telah menggunakan alat khusus yang canggih yaitu Digital Talking Book (DTB) yang berguna untuk meringankan tugas guru sehingga guru tidak harus mendiktekan soal kepada anak. Selain itu, kelebihan dari DTB ini adalah dapat mempersingkat waktu, sehingga waktu untuk pembelajaran pun menjadi lebih efektif.
2.    Proses belajar mengajar tersebut berlangsung cukup fleksibel, jadi anak tidak merasa tegang ketika menerima pelajaran di kelas. Hal ini dilakukan dengan guru memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang terkait dengan kegiatan sehari-hari anak di sela-sela pembelajaran berlangsung. Kemudian anak terpancing untuk menceritakan kegiatan sehari-hari yang dialaminya. Hal ini sesuai dengan prinsip pengajaran bagi anak tunanetra seperti yang dikemukakan oleh Juang Sunanto (2005 : 186) bahwa pengalaman kongkrit sangat penting bagi anak tunanetra. Selain itu, cara ini juga dapat membuat anak agar lebih aktif di kelas.
3.   Penggunaan bahasa daerah di sela-sela pembelajaran juga memiliki manfaat, selain untuk mengakrabkan hubungan antara guru dengan siswanya, hal ini juga bertujuan agar proses belajar mengajar tidak bersifat terlalu kaku maupun monoton. Cara ini juga dapat melatih anak agar selalu terbiasa menerapkan bahasa daerah mereka.
4.     Membiasakan anak untuk menulis Braille menggunakan reglet karena selain mudah digunakan juga untuk melatih kemampuan motorik halus anak. Tulisan Braille juga dapat melatih keterampilan komunikasi anak melalui membaca, menulis, berbicara dan menyimak. (Juang Sunanto, 2005 : 89).
5.  Penggunaan program pembelajaran yang mengkombinasikan antara pembelajaran individu dengan kelompok. Secara individu, Pak Alfian memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada siswanya untuk belajar berdasarkan kemampuan sendiri, misalnya saja seperti meminta masing-msing siswanya untuk menuliskan kegiatan mereka menggunakan Braille sehari-hari secara individu. Dengan begitu, Pak Alfian dapat mengoreksi dan mengetahui kemampuan dari masing-masing anak dalam menulis Braille sehingga potensi mereka dapat berkembang secara optimal. Sedangkan secara kelompok, Pak Alfian menerapkaan pembelajaran kepada ketiga siswanya sekaligus dengan pengaturan setting tempat duduk siswa yang  melingkar mengelilingi Pak Alfian. Setting tempat duduk tersebut penting dilakukan untuk mengadakan interaksi belajar yang baik, baik terhadap guru maupun terhadap siswa lainnya. Pembelajaran kelompok juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara rasional, mengembangkan sikap sosial, bertanggung jawab, dan sikap kepemimpinan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh Pak Alfian ketika meminta murid-muridnya untuk berlomba-lomba menulis kegiatan sehari-hari dengan cepat. Hal tersebut sudah menunjukkan semangat dalam suatu kelompok untuk bersama-sama menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.
6.  Penggunaan prinsip pengajaran bagi anak tunanetra, yaitu (1) pengalaman kongkrit, (2) penyatuan antar konsep, dan (3) belajar sambil melakukan. Pengalaman kongkrit diterapkan Pak Alfian ketika memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana terkait dengan kegiatan sehari-hari yang dialami langsung oleh siswa-siswanya. Penyatuan antar konsep diterapkan oleh siswa, salah satunya yaitu Christian yang dapat mengetahui posisi tempat duduknya, dan dapat merapikan seluruh buku dan alat tulisnya ke dalam tas, tentunya dengan menggunakan indera perabaannya. Belajar sambil melakukan diterapkan melalui kegiatan menulis Braille yang dilakukan oleh masing-masing siswa.
7.   Pak Alfian mampu mengendalikan suasana kelas dan masing-masing individu dari siswanya dengan memberikan sentuhan. Sebagai contoh, ketika Christian tidak  bisa duduk tenang dan terlalu agresif maka Pak Alfian langsung menyentuh tangannya dan menyuruhnya duduk. Lalu ketika Pak Alfian meminta Lionel untuk menjawab pertanyaan dari beliau, Pak Alfian menyentuh tangan Lionel terlebih dahulu.

C.    Saran

Saya sangat mengapresiasi sikap dan cara Pak Alfian dalam melakukan proses pembelajaran bagi anak tunanetra di SLB A YKAB Surakarta. Apabila saya berada pada posisi sebagai guru bagi anak tunanetra seperti Pak Alfian, maka saya juga akan melakukan hal yang sama seperti beliau sebelum memulai kegiatan belajar mengajar, seperti mengatur ruang kelas terlebih dahulu, baik meja ataupun kursi agar membuat anak senyaman mungkin berada di dalam kelas dan mengucapkan salam.
Kemudian penggunaan Digital Talking Book (DTB) untuk memperdengarkan soal cerita kepada anak, saya rasa sudah merupakan metode yang tepat. Kemudian sebelum memberikan materi pelajaran dengan menggunakan Digital Talking Book (DTB), yang saya lakukan adalah terlebih dahulu menyiapkan materi tersebut pada halaman berapa. Jadi ketika pembelajaran di kelas sudah dimulai, anak tidak perlu terlalu lama menunggu gurunya yang sedang mencari materi pada halaman berapa. Jika harus menunggu, saya akan mengajak mereka bercerita tentang kegiatan mereka, seperti tadi bangun jam berapa, sudah sarapan belum, diantar siapa ke sekolah, dan lain sebagainya.
Kemudian untuk keterampilan menulis Braille, menurut Juang Sunanto (2005 : 84) sebaiknya diberikan setelah anak mampu menggunakan mesin ketik Braille. Setelah anak menguasai simbol Braille barulah menulis menggunakan reglet diperkenalkan. Pada saat menulis dengan reglet titik-titik Braille ditekan satu demi satu dari kanan ke kiri, pada saat kertas dibalik, tulisan tersebut dibaca dari arah kiri ke kanan dan huruf-huruf itu menjadi timbul. Untuk tidak menimbulkan kebingungan, (a) mulai dengan huruf-huruf yang tidak mirip agar tidak terbalikdan (b) tekankan pada titik-titik atau bentuk hurufyang memiliki karakteristik khusus. Namun menurut saya, ketiga siswa/anak tersebut telah menguasai cara penulisan Braille menggunakan reglet dengan baik.
Saya juga akan menggunakan tiga prinsip pengajaran, yaitu pengalaman kongkrit, penyatuan antar konsep dan belajar sambil melakukan seperti yang telah diterapkan oleh Pak Alfian serta seluruh kelebihan yang telah diterapkan oleh Pak Alfian, yang ditambah dengan modifikasi materi, evaluasi pembelajaran dan modifikasi alat peraga seperti yang telah disampaikan oleh Bapak Kepala SLB A YKAB Surakarta.


DAFTAR PUSTAKA


Sunanto, Juang. 2005. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Penglihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

Hadi, Purwaka, 2005. Kemandirian Tunanetra Orientasi Akademik dan Orientasi Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.








Newer Oldest

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter